Rss Feed Facebook Twitter Google Plus

post:


BUDIDAYA ULAT JERMAN

Bagi mereka yang hobi memelihara burung kicau tentu sudah tak asing dengan ulat Jerman. Jenis ulat ini sudah biasa menjadi pakan tambahan untuk menambah stamina burung agar semakin rajin berkicau.

Tak heran bila permintaan ulat ini tinggi di pasaran. Itu juga yang mendorong banyak orang tertarik membiakkan ulat ini. Salah satunya adalah Susanti asal Medan, Sumatera Utara.

Ia  mengaku, tertarik membiakkan ulat Jerman  karena permintaannya tinggi dan belum banyak peternak membiakkan ulat ini.Perempuan yang lebih akrab disapa Santi ini mengaku baru membiakkan ulat ini setahun lalu. "Saya dapat indukannya dari seorang teman," katanya.

Saat ini, Santi mempunyai sekitar 15 kilogram (Kg) ulat Jerman yang ditempatkan dalam kotak kayu. Karena tingginya permintaan, ia mengaku tidak kesulitan memasarkan ulat tersebut.

Kebanyakan konsumennya masih di sekitar Medan. Santi menjual ulat peliharaannya seharga Rp 90.000–Rp 100.000 per kg. Dalam sebulan ia bisa menjual 10 kg ulat Jerman. Bila dihitung total penjualan dalam satu bulan sekitar Rp 1 juta.

Kendati omzetnya masih kecil, keuntungan bersih yang didapatnya cukup besar, mencapai 70% dari omzet. "Cara pembudidayaannya mudah dan cukup murah," ujarnya.

Pemain lainnya adalah Rakhmat Hidayat. Pria asal Bogor ini mulai mengembangkan ulat Jerman sejak tahun 2010, dengan modal awal Rp 5 juta.

Modal sebesar itu dipakainya buat  membeli bibit sebanyak 30 kg, rak, baki, dan beberapa botol bekas yakult. Sayangnya, usahanya tidak berjalan lancar. Ulat peliharaannya sempat terkena hama sampai membuatnya harus menutup usahanya.

Namun di tahun 2014, laki-laki yang akrab disapa Rakhmat ini kembali mencoba beternak ulat Jerman. Saat ini, jumlah ulatnya berjumlah sekitar 100 kg. Rakhmat membanderol harga ulat Jermannya sebesar Rp 25.000–Rp 35.000 per kg, tergantung kondisi pasar.

"Kalau stok di pasaran sedang banyak, harganya Rp 25.000. Kalau lagi sedikit, harga otomatis naik sampai Rp 35.000," jelas Rakhmat. Ulat-ulat jerman miliknya panen setiap tiga minggu sekali. Sekali panen bisa mencapai 100kg–200 kg. Semua ulat tersebut selalu habis terjual.

Dengan penjualan sebanyak itu, ia ia dapat meraup omzet Rp 4 juta–Rp 5 juta dalam sebulan. Ada pun  keuntungan bersihnya sampai 50%. Kebanyakan konsumennya berasal dari Sukabumi dan Jakarta. Untuk wilayah Sukabumi, ia memiliki pelanggan peternak ikan arwana. Adapun langganannya di Jakarta adalah pedagang Pasar Burung Pramuka.         

Ulat jerman termasuk salah satu pakan favorit burung kicau. Permintaan yang tinggi membuat budidaya ulat ini semakin menjanjikan. Menariknya, pembiakan ulat ini juga relatif gampang.

Susanti, peternak ulat jerman asal Medan, Sumatera Utara bilang, proses pembiakan ulat jerman dapat dilakukan dengan indukan. Untuk medianya bisa memakai kotak kayu. Langkah pertama masukkan indukan ke dalam kotak. Indukan yang sudah berumur satu bulan sudah siap bertelur. “Setelah bertelur indukan akan mati,” jelasnya pada KONTAN.

Masa perubahan telur menjadi larva biasanya mencapai dua minggu. Usia larva menjadi dewasa atau siap panen membutuhkan waktu dua hingga tiga bulan. Saat itu, baiknya larva diberikan pakan dua kali sehari berupa kulit semangka dan gandum.

Agar terhindar dari hama, seminggu sekali kandang harus dibersihkan dan dijemur di bawah sinar Matahari. Susanti mengingatkan, indukan dan larva harus ditempatkan di dalam suhu kamar sehingga tetap kering.

Peternak lainnya, Rakhmat Ramadhan, asal Bogor mengakui, penangkaran ulat jerman tidak sulit. Bukan hanya prosesnya, alat-alat yang diperlukan buat penangkaran juga tergolong sederhana. Peralatan yang dibutuhkan berupa rak, baki, botol bekas yakult, dan bibit sebanyak 30 kilogram (kg). Bibit sebanyak itu bisa menghasilkan 100 kg ulat jerman per bulannya.

Menurut Rakhmat, pemilihan induk harus selektif. Yakni, tidak lebih dari 2 kg agar ukuran ulat yang menjadi kepompong bisa besar. “Nantinya ulat-ulat itu akan menjadi kepompong sekitar tujuh sampai sepuluh hari,” tutur Rakhmat.

Setelah menjadi kepompong, dilakukan proses pengambilan kepompong selama tiga hari sekali. Proses pengambilan harus hati-hati agar kepompong tidak lecet atau cacat. Bila lecet, kepompong bisa mati karena membusuk.

Kepompong yang diambil juga tidak sembarangan. Yakni, kepompong berwarna putih kecoklatan. Nantinya, kepompong yang sudah dipilih diletakkan di dalam kotak yang diberi alas koran. Di atas alas koran itu, kepompong disebar sedemikian rupa agar tak bertumpuk di satu tempat. Setelah itu kotak ditutup rapat dengan kertas koran.

Biasanya waktu yang dibutuhkan kepompong berubah menjadi kumbang sekitar 10 hari. “Setelah menjadi kumbang, perhatikan warna sayapnya. Jika sudah hitam mengkilat baru diambil,” jelas Rakhmat.

Kumbang masih belum bisa diambil jika warnanya masih kecoklatan, sehingga harus menunggu sampai warna sayapnya hitam. Itu adalah pertanda bahwa kumbang sudah siap bertelur. Kumbang yang sudah siap bertelur ditaruh di kotak baru atau peti yang dialasi dengan kapas, jumlahnya bisa 250 gram per kotak.

Biarkan pembibitan ini selama tujuh hari. Setelah itu, setiap kapas yang ada telurnya ditaruh di kotak terpisah. “Telur mulai menetas setelah usia 30 hari, setelah itu baru dipisahkan dari kapasnya,” ujarnya.   


Share This :

Wirapedia

Wirapedia adalah blog yang mempromosikan UKM di Solo dan sekitarnya.

youtube

 

Blogger news

Blogroll

About